Tag: #keseharian

Pria itu tidak berhasil

Yang ingin kupertanyakan setiap hari, dan selalu tidak bisa berhenti adalah: bagaimana kabarmu hari ini?

***

Terlebih lagi, ingatan-ingatan yang kuharapkan lenyap di saat waktu yang benar-benar kuharapkan hilang dari suatu dimensi ke-ada-an aku di muka bumi ini, ternyata sudah tidak bisa kuandalkan lagi. Baiklah, agar tidak memusingkan, aku katakan saja yaitu; saat beranjak tidur. Dan aku geram, ketika waktu tidurku selesai, ingatan-ingatan itu semakin menguar, semakin utuh dan menyatu bagai puzzle-puzzle, tersusun pula dengan amat mudahnya. Dan kini kesadaranku mulai menguat bahwa aku tidak bisa mengandalkan malam sebelum tidur, dan pagi sehabis bangun tidur. Aku harus menemukan cara untuk menuntaskan ini!

Pertama, pada detik awal mataku terbuka dari tidur, aku tidak akan membuka ruang kosong pada waktu dan memberinya kesempatan pada diriku, terlebih kepada kepalaku untuk mempersilakan ingatan itu datang dengan seenaknya tanpa persetujuanku. Caranya, kebiasaanku untuk duduk-duduk sejenak sehabis bangun tidur sekadar mengumpulkan kesadaran kini mulai kutinggalkan, dan kuganti dengan melompat secara serampangan dari tempat tidur, tidak peduli tubuhku akan terbentur apa (malah, itu yang kuharapkan, agar ada aktifitas langsung. Walaupun sekadar mengusap-usap sakit pada kaki atau pada badan atau pada tangan atau pada telinga atau pada hidung atau pada kepala bila benturan itu memang benar-benar terjadi) dan juga langsung melarikan diri ke kamar mandi (lari dalam artian seperti pelari dalam lomba sprint). Untuk berlama-lama di kamar mandi pun kini mulai kutinggalkan, tempat itu mempunyai potensi besar dalam dunia khayali, bukan? Dan yang pasti aku takut menemukan ruang kosong di kepalaku!

Pagi yang kulewati sekitar satu jam dari bangun tidur hingga selesai mandi, kuanggap berhasil. Ya, aku melewati satu jam pagiku dengan tidak memberikan kesempatan ingatan-ingatan itu menghampiriku. Aku duduk di tepian ranjangku, mencerna usaha yang telah kulakukan selama satu jam ini, nikmat sekali rasanya. Ada semacam perasaan-perasaan yang melepaskanku dari jeratan dimensional, aku meresapi semua ini dengan tenang dan nyaman, aku merasa baru! Hal itu diperkuat dengan terguratnya senyum dan tawa kecil, senyum dan tawa bahagia yang tanpa kusadari lahir begitu saja. Usaha dan upayaku di pagi ini kuanggap selesai dan berhasil, sekarang aku tinggal memikirkan dan mencari cara untuk menghadapi waktu-waktu ke depannya lagi hingga malam sebelum tidur nanti.

Hapeku berdering, membuatku terkejut, membuyarkan ketenangan yang sedang kuresapi– sungguh suara itu mengganggu kebahagiaan-keberhasilan yang sedang kunikmati kini. Kujawab panggilan tersebut, di seberang sana terdengar suara wanita yang sudah tidak asing di telingaku, suara dari muasal perkara yang menghantuiku selama ini, kalimat pertama yang kudengar darinya yaitu “bagaimana kabarmu hari ini?”

>???!!!@#$%^&*(“?/+=(O’O)}|{<

Raut wajahku seketika merah padam, menggerutu dalam hati, urat-urat syaraf di kepalaku seolah kusut dalam sepersekian detik!

Orang ketiga di antara Hans dan Dens

“Mengapa aku sulit mendapatkan pengakuan di hadapan orang lain, Hans?”
“Kau salah!”
“Aku berkata yang sebenarnya!”
“Itu membuktikan kau semakin salah, Dens!”
“Aku bosan selalu mendengar jawaban omong kosongmu, Hans! Kau bukan pendengar yang baik!”
“Kalau begitu, cobalah untuk tidak ingin didengar!”
“Kau, payah, Hans!”
Dens pergi meninggalkan Hans. Hans sebenarnya ingin meninggalkannya lebih dulu kendati Dens telah mengawalinya, sebab ia sadar pertemuan ini buntutnya adalah pertengkaran, sebab kesadarannya itu pula Hans berniat pergi dari kehidupan Dens dalam waktu yang sulit diperkirakan akan singkat. Di telapak tangannya tergenggam surat yang sudah ia tulis semalaman untuknya, tapi surat itu kini masih tinggal dalam genggamannya, sedangkan Dens kadung raib di persimpangan jalan. Keberanian untuk mencegahnya pergi tak juga hadir, sampai akhirnya ia remas kertas itu secara perlahan, memampatkannya hingga menjadi bentuk bola kertas lalu ia lemparkan ke udara dengan sembarang.

***

Pertama, kesadaran nampaknya sudah bukan lagi perkara mewah yang perlu kita perbincangkan, Dens. Bukan tak ada tempat untuknya, tapi apa yang perlu diperbincangkan mengenai kesadaran? Bukankah bila semakin diperbincangkan akan semakin pudar makna hakikatnya? Ia memang bukan suatu hal yang patut diperbincangkan, bukan, Dens? Kau pernah bertanya padaku tentang hal serupanya, tentang hal-hal yang tidak tahu bagaimana cara mempelajarinya, atau paling tidak bagaimana untuk memulai mempelajarinya: ketulusan dan kejujuran. Aku gamang dan cenderung kalut mendengar dua pertanyaanmu itu.
Kau satu-satunya sahabatku yang paling tekun dengan buku-buku bacaan. Itu harta termewahku dalam mengisi hari-hari remajaku, kau perlu tahu itu, Dens! Aku berani bertaruh jika aku tak mengenalmu, kedunguan sudah menggerogoti sikap dan polah hidupku. Satu pernyataanmu yang sepertinya akan selalu terngiang selama hidupku adalah ketika kau tidak pernah menemukan jawaban tuntas ketika banyak para penulis hebat mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, Hemingway adalah salah satu yang paling menghantui kenyataan dari pernyataanmu itu. Ingin sekali pertanyaan itu juga mampu merasuk ke dalam kepalaku, dan berharap akan selalu menggangguku juga, sama sepertimu. Tapi sepertinya hanya orang-orang sepertimulah yang menemukan pertanyaan itu, aku tidak mungkin. Itu hanya selingan saja, Dens.
Kedua, semakin lama nyatalah sudah bahwa aku semakin asing mengenalmu. Kau pun merasakan itu. Padahal, dahulu dalam benakku, aku sempat berpikir ingin menjadi serupa Pedang Ronin terhadap tuannya. Kau seakan selalu memberiku gaji bulanan melimpah dengan pengetahuan dan wawasanmu. Tapi celakanya, hal itu telah kausadari. Dan benarlah sudah, kau menjadi tuan, tuanku, dan aku sebaliknya.
Dan keterasinganmu terhadap dirimu sendiri itu semakin membuatku yakin bahwa kau manusia lemah yang berusaha menampakkan kekuatan tanpa kesadaran, bahwa kekuatanmu hanya tersimpul di kepalamu. Kau pasti mengerti maksudku.
Ketiga, aku pergi karena pertanyaan dan pernyataanmu.

Sahabatmu, Hans.

***

Setelah lelah berjalan menyusuri kota yang tidak aku kenal ini, aku duduk mengurai peluh di bawah pohon besar, tidak sengaja melihat bola kertas tak jauh dari pandangan mataku. Aku pungut lalu membacanya perlahan. “Sampah banyak yang berwujud teman! Camkan itu!” aku menggerutu tiba-tiba entah kepada siapa. Aku remas-remas kembali kertas itu secara perlahan, memampatkannya hingga menjadi bentuk bola kertas lalu kulemparkan ke udara dengan sembarang.